Minggu, 12 Mei 2013

Membangun Kedamaian di Papua

Baru-baru ini, perhatian publik tertuju pada pembukaan kantor perwakilan untuk Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Oxford, Inggris. Kantor yang dipimpin Benny Wenda (aktivis Papua merdeka di Eropa) tersebut didukung Dewan Kota Oxford (DKO).

Membangun Kedamaian di Papua

Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Mark Canning, menyatakan langkah DKO tidak mewakili pandangan Pemerintah Inggris. Dewan Kota bukan bagian dari pemerintah. Namun, pernyataan tersebut dipertanyakan kalangan Komisi I DPR yang bereaksi keras.

Menurut Ramdhan Pohan, Wakil Ketua Komisi I DPR, pembukaan kantor OPM yang dihadiri Wali Kota Oxford, Mohammed Abbasi, anggota parlemen lokal, Andrew Smith, dan mantan wali kota Elise Benjamin menunjukkan campur tangan unsur pemerintah di Inggris. Pemerintah Indonesia sendiri, melalui Kementerian Luar Negeri, telah meminta penjelasan dari Dubes Inggris.


Pendirian kantor OPM di Inggris sebenarnya merupakan bagian dari kampanye pembebasan Papua Barat sejak tahun 2004. Sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan aparat keamanan di Papua menjadi isu utama yang dibawa para aktivis separatis ke dunia internasional. Provinsi Papua dan Papua Barat telah memperoleh perhatian lewat Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) No 21 Tahun 2011.

Selain memberi kesempatan Papua mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan aspirasi serta hak dasar masyarakat, UU Otsus memberikan kesempatan kepda putra asli Papua untuk menjadi gubernur. Bahkan ada aturan pemberian Dana Alokasi Khusus (DAK) yang besarnya setara dengan 2 persen plafon Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional.

Belum lama ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan wacana baru mengenai Otsus Plus untuk mengatasi segala permasalahan di Papua. Draf Otsus Plus yang akan selesai Agustus 2013 tetap mengacu pada UU Otsus. Otsus Plus diharapkan menjadi solusi untuk Papua sebelum presiden mengakhiri masa jabatan. Namun, dalam kenyataannya, serangkaian upaya perbaikan dan penyelesaian melalui pendekatan kesejahteraan belum sepenuhnya terlaksana.

Dengan UU Otsus Papua saja, kinerja pemerintah belum optimal dalam mengimplementasikan UU tersebut ke dalam beberapa rancangan peraturan pemerintah (PP). Dengan demikian, rencana Otsus Plus sudah pasti tidak akan efektif.

Kekerasan

Harus diakui bahwa pemerintah memang perlu waktu untuk mengatasi permasalahan Papua karena penyelesaian konflik tidak bisa instan. Namun, di saat pendekatan kesejahteraan diupayakan, kekerasan dengan bendera separatisme masih terus berlanjut. Sepanjang tahun 2008 sampai 2012 saja, ada 158 kekerasan yang mengakibatkan 87 orang tewas, 198 lainnya cedera, dan 31 bangunan rusak. Sebagian besar insiden kekerasan terjadi di Kabupaten Puncak Jaya, Kota Jayapura, Kabupaten Mimika, dan Kabupaten Paniai.

Lima tahun terakhir, ada 119 kasus kekerasan yang dilakukan kelompok separatis, 73 persennya menggunakan senjata api organik. Serangkaian penembakan dan penyerangan terhadap pos polisi/TNI kerap dilakukan sebagai bentuk perjuangan kelompok separatis untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyerangan banyak dilakukan menjelang peristiwa penting seperti peringatan HUT Kemerdekaan RI dan HUT OPM yang selalu ditandai dengan pengibaran bendera Bintang Kejora.

Tahun 2011 dan 2012, ada 12 pos polisi/TNI seperti kantor Polsek, pos TNI perbatasan, dan pos komando taktis Brimob diserang, beberapa dibakar. Penembakan terhadap aparat keamanan di Distrik Tingginambat dan Distrik Sinak pada tanggal 21 Februari 2013 mengakibatkan delapan aparat keamanan dan empat warga sipil tewas. Kejadian tersebut menjadi salah satu isu hangat dewasa ini.

Dalam perkembangannya, penyerangan tak hanya dilakukan terhadap aparat, tapi juga warga sipil seperti karyawan, guru, pelajar, tukang ojek, wisatawan asing, dan jurnalis. Banyak pihak mendesak pemerintah segera menyelesaikan permasalahan di tanah Papua. Jika ditilik, kekerasan meningkat karena semakin menguat penyangkalan hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Perpera) pada tahun 1969 karena penentuan hanya diwakilkan tokoh suku. Karena itu, banyak pihak yang mempertanyakan keabsahan atas proses integrasi Papua menjadi bagian dari NKRI.

Penegakan hukum lamban. Maka, beberapa kasus penembakan dan penyerangan belum terungkap, menurunkan kepercayaan masyarakat Papua terhadap kemampuan aparat menjaga keamanan. Kemudian, pembangunan infrastrukur dan perekonomian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga sangat lamban. Ketertinggalan pembangunan yang dirasakan masyarakat Papua menjadi salah satu sebab munculnya ketidakadilan dan ketimpangan sehingga antipati terhadap pemerintah.

Program meningkatkan pembangunan pendidikan, kesehatan, infrastuktur dasar, serta ekonomi rakyat berjalan terseok-seok meskipun pengalokasian Dana Otonomi Khusus (Otsus) di tahun 2011 naik dari 5,4 triliun menjadi 6,5 triliun rupiah pada tahun ini.

Rekomendasi

Penyelesaian masalah Papua memang memerlukan strategi yang komprehensif dan tentu saja tidak bisa instan. Pemerintah pusat dan daerah harus segera memulihkan kepercayaan masyarakat Papua bahwa keadilan itu ada. Maka, penegakan hukum dipercepat dan berimbang, tidak pilih kasus, agar keadilan benar-benar tercipta.

Rangkaian penembakan dan penyerangan harus dicermati aparat secara saksama. Tindakan aparat keamanan yang terlalu represif menekan kelompok separatis bisa berdampak negatif pada pencitraan aparat yang selama ini sudah buruk.

Perlu dialog dua arah pemerintah dan masyarakat Papua, terutama kelompok yang berseberangan. Dialog serupa pernah dilakukan pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sehingga tercapai Perjanjian Helsinki tahun 2005. Proses tawar-menawar kepentingan politik antara kelompok separatis dan pemerintah mutlak diperlukan untuk mengurangi korban jiwa akibat konflik berkepanjangan.

Dialog bukan berarti membuka pintu kebebasan dan kemerdekaan untuk masyarakat Papua, tapi untuk mendengar lebih serius aspirasi masyarakat Papua yang selama ini tidak tersalurkan secara adil dan berimbang. Pertimbangkan pula partisipasi sosial dan politik masyarakat. Ikatan mutualistis kedua pihak diharapkan mampu membawa perdamaian dan perbaikan kesejahteraan di Papua.

Pendekatan kesejahteraan melalui berbagai macam program tidak akan berjalan tanpa dukungan dan sinergi pemerintah serta daerah. Libatkan juga tokoh adat atau masyarakat dan aktivis pemberdayaan masyarakat. Pemerintah pusat maupun daerah harus merangkul kelompok pemberdayaan masyarakat, termasuk para aktivis penegak HAM, untuk sama-sama mengawal proses penegakan hukum dan pembangunan agar tercapai Papua yang lebih baik dan sejahtera. (KJ)

Oleh : Inggrid Galuh Mustikawati MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar